Dakwah
di Malaysia
Negeri
Sejuta Indonesia
Gus Isqowi ( Isqowi Indaddin Masya )
Pertengahan
MEI 2013, Koordinator Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) Ustadz Ahmad Fauzi
Qosim MA menginformasikan bahwa Cordofa akan mengirim dai-dainya ke berbagai
negara pada Bulan Ramadhan 1434 H melalui Program Dai Ambassador. Untuk
melengkapi personilnya, diadakanlah rekruitmen yang diikuti oleh puluhan dai dari
berbagai daerah.
Sebanyak
88 dai mengikuti proses seleksi. Ada yang sebelumnya sudah tergabung dalam
Cordofa, banyak juga dai baru yang melamar setelah melihat pengumuman berupa pamflet yang
disebar Dompet Dhuafa. Kebetulan saya sudah bergabung dalam program Cordofa
sebelumnya. Setelah melalui proses seleksi, ditetapkan 20 dai masuk dalam
program. Kami pun mengikuti pembekalan sejak 17 Juni hinhgga 2 Juli.
Setelah
pelatihan berakhir, diputuskan 10 dai akan diberangkatkan ke berbagai negara,
sisanya akan disebar ke sejumlah daerah di Indonesia. Kesepuluh dai yang diutus
ke luar negeri antara lain, Ustadz Muhammad Toif Chasani menuju Korea Selatan,
Ustadz Drs Bahrun Mubarok, MA (HongKong), Ust. Isnaini Adha, Lc (Republik
Rakyat China), Ust. H. Al Ikhlas Syamsuir, MA (Philipina), KH Drs Amin Munawar,
MA (Jepang) Ust. Nur Hidayat, S.Ag (Timor Leste), Ust Drs Budi Juliandi, MA
(Australia), Ust Asep Awaludin, S.Pdi (Taiwan) dan saya sendiri dikirim ke
Malaysia.
Meski
letak geografisnya sangat berdekatan dan secara kultur maupun bahasa masih
serumpun dengan Indonesia, Malaysia tetaplah negeri yang asing karena belum sekalipun saya pernah menginjakkan kaki
ke ‘Negeri Jiran’. Apalagi, Malaysia adalah salah satu dari dua negara tujuan
Cordofa yang memiliki tantangan yang berat. Sebab, di negara tersebut belum ada
perwakilan Dompet Dhuafa sehingga tidak mudah untuk mendapatkan akses ke jamaah
sasaran. Saya akan dalam posisi buta sama sekali dalam berdakwah karena tidak
kenal siapa-siapa. Satu negara lainnya yang memiliki karakteristik sama adalah
‘Timor Leste’.
Selain
mencari sendiri akses dakwah, tantangan lainnya adalah, saya diminta membuka
akses untuk Dompet Dhuafa di Malaysia. Istri tercinta semapt khawatir begitu
mendengar kondisi yang akan saya hadapi dan sempat menyangsikan kemampuan saya
menghadapi tantangan tersebut. Karenanya, hamper-hampir saya dilarang berangkat
untuk melanjutkan misi berdakwah ke Malaysia yang diamanatkan Cordofa.
Akan
tetapi saya tidak merasa khawatir sama sekali. Mungkin karena negara yang saya
datangi memiliki karakteristik yang sama dengan Indonesia sehingga saya tidak
akan kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Selain itu, lokasinya
juga tidak terlalu jauh dari Indonesia dan seperti di Tanah Air, mayoritas
penduduknya adalah muslim sehingga saya yakin akan merasa nyaman dalam
beribadah. Mengenai akses yang belum terbayang sama sekali, saya tidak terlalu
mempermasalahkannya. Saya yakin dalam setiap upaya di jalan Allah, Dia pasti
akan memberi kemudahan.
Melihat
kepercayaan diri saya yang membumbung tinggi itu, istri tercinta tidak bisa
berbuat apa-apa. Sambil menahan sedih, ia hanya bisa melepas sya ketika saatnya
berangkat ke Malaysia pada Kamis, 11 Juli 2013. Pukul 20.15 WIB, pesawat Lion
Air yang saya tumpangi lepas landas dari Bandar Udara Soekarno-Hatta,
Cengkareng. Dan tak lama, hanya selang dua jam kemudian, saya sudah menjejakkan
kaki di Bandar Udara Kuala Lumpur, Malaysia.
Masih
dengan kepercayaan diri yang tinggi, saya lewati pintu imigrasi tanpa ada
hambatan sedikitpun. Petugas imigrasi dan orang-orang di Bandara tidak ada yang
memandang aneh dengan pakaian khas muslim Asia Tenggara yang saya kenakan. Saya
yakin mereka juga muslim dan sudah terbiasa melihat atribut-atribut seperti
peci dan baju koko yang melekat di tubuh saya ini.
Mungkin
kondisinya akan sangat berbeda jika saya dikirim ke negara yang mayoritas
penduduknya non muslim dan bahasa yang digunakan tidak saya mengerti. Korea
Selatan atau Jepang, misalnya. Dalam hati saya pun bersyukur tugas yang saya
terima adalah ke Malaysia sehingga dalam hal bahasa dan kenyamanan saya rasakan
sangat baik.
Selesai
mengurus imigrasi, saya pun melenggang masuk Malaysia hampir tengah malam. Saat
itu sudah pukul 11.15 waktu Malaysia. Lalu saya pun mul;ai mencari-cari orang
yang menjemput saya. Dalam print out surat elektronik dari Ustadz Fauzi Qosim
selaku coordinator Dai Cordofa tertulis, yang akan menjemput saya di Malaysia
adalah Bapak Rahmat Widayanto. Beliau menjabat sebagai Presiden Direktur
Mandiri Remittance Malaysia.
Saya
memang belum pernah bertemu dengan Pak Rahmat sehingga tidak mengenal wajahnya.
Tapi, tidak ada tanda-tanda orang yang menunggu bertemu saya di sekeliling
wilayah bandara tempat saya berdiri. Di sini, kepercayaan diri saya yang tinggi
tadi mulai luntur. Saya pun mulai mondar-mandir dengan gelisah sambil
berharap-harap Pak Rahmat ada di sekitar dan menangkap kekhawatiran saya.
Ketika
saya coba hubungi, telepon genggam saya tidak bisa menjangkau nomor teleponnya.
Karena saya masih menggunakan kartu telepon dari oerator Indonesia, dan saya
lupa untuk mengaktifkan international roaming, jadi tak bisa dipakai. Saat itu
saya seperti kehabisan akal sehingga tidak terpikirkan untuk menggantinya
dengan kartu telepon lokal. Akibatnya, hingga lewat tengah malam, atau Jum’at
12 Juli 2013 diniu hari, saya masih sendirian terasing di bandara.
Barulah
ketika waktu sudah menunjukkan hampir pukul 03.00 pagi, ide menukar kartu
telepon muncul di kepala dan tak lama saya sudah berhasil menghubungi beliau.
Namun, sayangnya beliau sudah dalam perjalanan kembali ke rumah. Setelah
dijelaskan, ternyata Pak Rahmat sebelumnya sempat menunggu saya cukup lama di
bandara. Namun, posisinya berjauhan dari tempat saya menunggunya.
Syukur
Alhamdulillah, ia bersedia kembali ke bandara meski harus menyewa taksi. Betapa
leganya ketika melihat wajah damai Pak Rahmat yang tetap tersenyum saat menjumopai
saya, meski saya tahu ia sangat lelah menunggu saya semalaman di bandara. Kami
pun beranjak dan tiba di kediamannya di Sri Maya Condominium, Jelatek, Kuala
Lumpur pada pukul 04.00 pagi. Istri beliau langsung menyiapkan makan sahur
begitu kami tiba. Pak Rahmat dan istrinya mengijinkan saya tinggal di rumah
mereka selama menjalankan kegiatan dakwah di Malaysia.
Serupa
Tapi Tak Sama
Setelah
mendapat istirahat yang cukup, saya memulai kegiatan di hari pertama saya di
Malaysia, yaitu shalat Jum’at. Begitu keluar
rumah, saya bisa merasakan suasana Kuala Lumpur yang sesungguhnya.
Sebab, ketika baru, perjalanan dari bandara ke
rumah Pak Rahmat saya lalui dalam kegelapan malam, sehingga tidak
terlalu jelas melihat pemandangan. Dari suhu udara yang saya rasakan dan
suasana kota yang saya lihat, hampir tidak ada perbedaan dengan Jakarta.
Atmosfer
menjelang shalat Jum’at juga senada dengan suasana di Indonesia. Masjid-masjid
mengumandangkan Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an, sementara penduduk mulai
berbondong-bondong menuju masjid mengenakan pakaian muslim lengkap dengan peci.
Beberapa membawah sajadah. Tujuan saya kali ini untuk menunaikan shalat Jum’at
adalah Masjid Muadz bin Jabbal.
Begitu
masuk ke dalam bangunan masjid berkonsep semi modern namun tidak meninggalkan
kekhasan melayunya, barulah saya melihat sejumlah perbedaan. Ketika berjalan di
lantai dua masjid usai berwudhu, kedua mata saya tanpa sengaja mengarah pada
suatu ruangan dengan sebuah tulisan besar di kaca jendelanya. Tulisan tersebut
berbunyi: “Ruang Persalinan Lak-Laki”. Sejenak saya terdiam. Dalam pikiran saya
saatr itu, saya mengasosiakan kata persalinan sebagai proses melahirkan yang
dialami kaum wanita. Lalu mengapa ada kata laki-laki di sana? “Apakah laki-laki
Malaysia juga melahirkan?” candaku.
Setelah
mencari informasi, baru saya mengerti, maksud tulisan tersebut adalah kamar
yang dimaksud digunakan untuk ruang ganti pakaian laiki-laki. Perbedaan lain
juga saya rasakan saat mengikuti shalat Jum’at berjema’ah. Saat khotib
membacakan do’a pada khutbah kedua, ada sesuatu yang tidak lazim di telinga.
Baru kali ini saya mendengar khotib shalat Jum’at membaca do’a yang ditujukan
bukan hanya kepada kaum muslimin, tetapi juga khusus untuk raja dan
permaisurinya.
Meski
pemerintahannya menganut sistem parlementer yang dipimpin oleh perdana menteri,
secara cultural Malaysia adalah kerajaan dan masih memiliki raja atau yang
disebut juga Yang Dipertuan Agong dan permaisuri. Yang Dipertuan Agong dipiliuh
dari dan oleh Sembilan Sultan Negeri-Negeri Malaya, untuk menjabat selama lima
tahun secara bergiliran.
Do’a
untuk penguasa negara dalam khutbah kedua shalat Jum’at memang tidak lazim
dilakukan di Indonesia. Tapi berdasarkan informasi yang saya terima usai shalat
Jum’at, hal itu wajib dilakukan setiap khotib di Malaysia. Bahkan, saya pun
baru tahu, untuk menjadi khotib di Malaysia harus memiliki surat ijin serta
wajib membaca teks yang sudah dipersiapkan oleh Jawatan Keagamaan Malaysia atau
Kementrian Agama negara tersebut.
Tapi bukan tujuan
saya menganalisa perbedaan praktik peribadatan di Malaysia dengan negara-negara
lain. Misi saya ke ‘Negeri Jihan’ ini adalah berdakwah kepada masyarakat muslim
Indonesia di Malaysia yang jumlahnya mencapai lebih dari satu juta jiwa. Seorang
diri, niscaya saya tidak akan mampu menjangkau strategi bagaimana kegiatan
dakwah yang hanya satu buloan di Malaysia berjalan secara efektif. Masalahnya, saya sendiri belum tahu akan ke mana saya
berdakwah karena tidak ada jaringan sama sekali dan jadwal pun belum tersusun.
Saya khawatir hari-hari saya di Kuala Lumpur terbuang percuma dan pulang
membawa kegagalan. Awalnya, saya berharap Pak Rahmat bisa membantu saya
menjangkau masyarakat yang membutuhkan dai. Namun, ternyata beliau juga baru
empat bulan ditugaskan di Malaysia setelah sebelumnya menetap lama di Hong
Kong. Beliau mengaku belum banyak memiliki jaringan di Malaysia, kecuali
komunitas-komunitas yang berkaitan dengan pekerjaannya, sehingga tidak bisa
banyak membantu.
Saya
sempat bingung, tapi bagaimanapun tugas dakwah harus tetap berjalan. Maka, dari
secuil informasi yang dimiliki Pak Rahmat mengenai komunitas pengajian, kami
kembangkan bersama dengan turun langsung ke sejumlah individu yang menjadi
anggotanya. Saya pernah mendengar, orang bilang, Malaysia itu sejuta Indonesia,
karena kita akan mudah menemukan orang Indonesia di mana-mana. Benar saja,
ketika kami mengunjungi pusat perbelanjaan terpopuler di Kuala Lumpur, Suria
Kuala Lumpur City Center (KLCC), kami bertemu dengan tenaga kerja Indonesia
(TKI) yang bekerja sebagai petugas kebersihan (cleaning service).
Lebih
dari itu, sore harinya, kebetulan ada acara buka bersama dengan para pekerja
Indonesia yang bekerja di Petronas dan tergabung dalam Ikatan Ahli Teknik
Perminyakan Indonesia (IATMI). Kebetulan Pak Rahmat memang diundang di acara
tersebut dan diminta mengenalkan diri sebagai ‘warga baru’. Selain itiu, Dompet
Dhuafa yang diwakili oleh saya juga diberi kesempatan mempresentasikan diri.
Setelah
acara selesai, banyak jama’ah yang datang dan meminta untuk mengisi pengajian
di komunitas mereka yang lain. Tanpa sepengetahuan saya, Pak Rahmat juga
melakukan lobi ke sejumlah rekanannya agar mereka mengundang saya di acara
komunitas pengajian amsing-masing. Alhamdulillah, sejak itu kunjungan saya ke
Malaysia menjadi berarti karena hampir setiap hari saya memiliki agenda dakwah
yang dapat dijalankan.
Yang
pertama kali saya datangi adalah komunitas binaan Ibu Ning, istri salah satu
pekerja Petronas. Komunitas tersebut berisi anak-anak yatim dan janda-janda
yang berasal dari Indonesia maupun Malaysia. Berikutnya, ada agenda pengajian
untuk petugas cleaning service di Kompleks Condominium Sri Maya, pengajian di
sebuah bazaar yang diadakan oleh ibu-ibu Dharmawanita Indonesia atau
istri-istri pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia dan
pengajian-pengajian lain di berbagai komunitas TKI maupun mahasiswa.
Dakwah
yang saya lakukan berupa ceramah umum, tabligh akbar, majelis taklim dan
konseling di penampungan atau shelter TKI yang bermasalah di KBRI. Di
majelis-majelis, kebanyakan dakwah diadakan menjelang buka puasa, setelah buka
puasa, di sela-sela tarawih dan usai shalat subuh.
Seperti
era Soeharo
Meski
iklim dan suasananya mirip Indonesia, saya merasakasn sesuatu yang berbeda di
Kuala Lumpur. Ibukota Malaysia ini terasa lebih nyaman dan tenang dibandingkan
Jakarta. Tidak ada kemacetan dan angkutan umum pun sangat nyaman, seperti bus
dan monorail. Perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dapat saya lakukan
dengan cepat.
Tidak
ada juga demontrasi di jalan seperti
yang lumrah dilakukan para demontran di Jakarta. Mungkin karena pemerintah
Malaysia yang msih berpaham monarki meski juga menganut sistem parlementer.
Untuk
menjalankan agama, Malaysia cukup nyaman, karena terlihat lebih Islami
disbanding Indonesia. Selain mayoritas penduduknya muslim, hal itu juga bisa
dilihat dari publikasi media yang dijual di lapak-lapak penjual Koran. Tidak
ada majalah dengan sampul bergambar tak senonoh. Demikian juga tayangan
televisi yang tidak pernah menampilkan acara-acara hiburan dengan pakaian yang
vulgar.
Sekilas,
saya merasa berada di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Soeharto di mana
segala hal yang berkaitan dengan publikasi, pemerinthan dan politik
dikendalikan oleh negara shingga tidak ada kebebasan. Namun, imbasnya, suasana
menjadi lebih tenang tanpa gejolak. Dari
sejumlah masyarakat asli Malaysia yang saya tanyai, mengaku mengaku sangat
bangga menjadi seorang muslim dan juga bangga dengan pemerintah Malaysia.
Pemerintah
Malaysia juga sangat protektif terhadap paham-paham yang dianggap menyimpang
dari ajaran Islam. Sementara, taklim-taklim tumbuh subur di masjid-masjid. Yang
paling menyenangkan adalah, saya tidak pernah merasa kesulitan dalam
mendapatkan makanan halal dan sesuai dengan selera.
Jurang
Pemisah Antar-TKI
Dari
kegaitan dakwah yang saya lakukan di berbagai komunitas, dapat terlihat jurang
pemisah antara TKI kelas atas dan TKI kelas bawah. TKI kelas atas, umumnya
bekerja di sektor industri swasta pada modal atau lembaga perusahaan milik
pemerintah Malaysia. Gaji mereka rata-rata 20 ribu ringgit Malaysia atau setara
dengan Rp. 60 juta per bulan.
Sedangkan
TKI pada tingkat bawah umumnya bekerja di sector padat karya atau operator
pabrik, pembantu rumah tangga, pelayan restoran dan lainnya dengan penghasilan pas-pasan.
Untuk menyatukan TKI tingkat atas yang rata-rata bergelar doctor dan master
dengan TKI pada tingkat bawah yang hanya memiliki latar belakang pendidikan SMP
(Sekolah Menengah Pertama) dan
SMA (Sekolah Menengah Atas) merupakan permasalahan yang sangat sulit.
Belum
terlihat upaya nyata dari pekerja kelas atas merangkul komunitas pekerja kelas bawah untuk
mengurangi beban hidup mereka. Makin besarnya jurang pemisah ini, menyebabkan tingginya per- masalahan social di kalangan TKI kelas bawah, dimana pekerja yang
berpendidikan rendah akan semakin terpuruk dengan keadaan ekonomi atau kebuuhan
hidup yang tinggi.
Selain
harus menjalani hari-hari dengan kerja keras, citra pekerja Indonesia di
Malaysia tidak terlalu baik. Warga pribumi seringkali memandang sebelah mata
para TKI wanita sebagai perempuan murahan. Semenetara, pekerja lelaki
seringkali diasosiasikan dengan perilaku criminal.
Belum lagi, para TKI yang bermasalah sehingga terpaksa harus
tinggal di shel ter untuk sementara sampai menunggu kasusnya selesai. Banyak
yang berun -tung bisa kembali ke Indonesia, namun ada jugak TKI yang bernasib
mendapat perlakuan kejam dari majikan, atau dihu kum mati karena terpaksa
melakukan pembunuhan.
Selama di Malaysia, saya sering tersentuh dan tidak bisa menahan
air mata saat mengisi pengajian dan konseling kepada ibu-ibu TKI yang berada di
shelter. Perso alan TKI memang selalu menjadi pemberitaan yang menarik. Dari
mulai kasus pele cehana TKI, nasib TKI yang terlunta-lunta sampai pada
pemerasan TKI di negeri sendiri yang selalu menjadi sapi perahan oknum Bandara
Soekarno-Hatta. Belum lagi nakalnya PJTKI dengan kasus penipuan dan pengiriman
yang tidak sesuai akad. Anehnya meski fenomena persoalan buruh migrant selalu
menjadi sorotan, namun gelombang pengiriman TKI selalu meningkat persentasenya.
Tapi,
syukur Alhamdulillah dari jutaan TKI yang ada di Malaysia, masih ada pekerja
Indonesia yang peduli akan pentingnya pembinaan keagamaan sebagai bagian dari
kehidupannya. Komunitas pekerja Indonesia yang haus akan ilmu agama ini
menamakan dirinya Ikatan Pekerja Muslim Indonesia
(IPMI). Dengan serius mereka
mengadakan pembinaan melalui kajian secara rutin dan berkala. Organisasi
sosial kemasyarakatan ini dibentuk atas keprihatinan akan gejala sosial negatif
yang sering kali muncul di kalangan TKI. Meski terkadang para pekerja selalu
akan melihat independensi organisasi tersebut untuk berperan dan bernaung di bawahnya, perhatian dan pekanya
sebuah organisasi sosial di luar negeri ini sangat diperlukan untuk mengatasi
problema yang ada di sekitar TKI. Sebab, TKI merupakan salah satu ataupun
bagian kecil dari aset negara yang perlu diperhatikan.
IPMI mengumpulkan dan mengajak para pekerja untuk kegiatan
rihlah (bertamasya sambil berdakwah) serta diiringi tausyiah. Saya sangat terkesan
dengan pengurus maupun anggota IPMI yang rela meluangkan waktu, tenaga maupun
mengeluarkan materinya demi berjalannya kegiatan di organisasi tersebut meski
tak jarang menghadapi kendala.
Beberapa
organisasi sosial dari negara kita yang ada di Malaysia cukup kesulitan dalam
melakukan pemberdayaan TKI. Hal ini terjadi akibat keterbatasan dana yang
terkumpul, kesediaan waktu yang sangat sedikit atau sumber daya TKI yang ada
masih rendah, sehingga segala bentuk kegiatan hanya bersifat sumbangan yang didapat
dari TKI itu sendiri. Meski demikian, IPMI Malaysia yang dipimpin H. Irfan
Efendy pantang menyerah memperkaya kegiatan mereka agar silaturahmi antar
pekerja Indonesia tetap terjalin.
Komunitas
yang dimiliki potensi untuk dibina secara berkelanjutan oleh Dompet Dhuafa. Hal
ini yang saya lihat saat mengisi renungan malam dan tausiyah subuh. Sangat
jelas tergambar bagaimana antusiasme para TKI yang hadir dalam acara yang
digelar IPMI dalam menimba ilmu agama.
Mereka
terlihat sangat haus akan siraman rohani, namun ketersediaan dai Indonesia yang
mampu membakar semangat mereka sangat sedikit. Maka, mereka sangat senang
ketika saya berkesempatan memberikan tausiyah di malam bulan Ramadhan dan usai
shalat subuh. Tanggapan mereka saya terhadap dakwah yang saya lakukan sungguh
luar biasa dan itu tergambar dari status-status di time line laman Facebook
Sahabat IPMI. Rupanya, selain pertemuan tatap muka, nereka juga tetap menjalin
silahruahmi melalui situs jejaring social.
Melawan
Lupa
Manusia
tak lepas dari sifat lupa. Tapi, jika sifat itu muncul saat memimpin shalat
puluhan jama’ah, sungguh membuat saya malu bukan kepalang. Hal itu terjadi
ketika saya menjadi imam shalat tarawih di sebuah komunitas muslim Indonesia di
Kuala Lumpur. Di raka’at terakhir tarawih seharusnya saya duduk tahiyat akhir.
Namun, usai sujud saya justru hendak berdiri sehingga makmum yang menyadari
kesalahan saya spontan berteriak “Subhanallah”.
Sadar
hampir keliru, saya pun langsung menyelesaikan shalat tarawih hingga salam.
Tetapi malu terlanjur bertamu. Maka, seusai shalat saya pun memutar otak
bagaimana caranya menutupi rasa malu akibat lupa raka’at pada shala tarawih
tadi. Lalu lahir sebuah ide di dalam kepala, dalam materi tausiyah nanti saya
ceritakan tentang imam yang lupa bacaan shalat.
Selepas
witir, tausiyah pun saya mulai. Saya membahas, di antara keistimewaan Al-Qur’an
adalah sangat mudah untuk dihafal. Maka, jika meluangkan waktu untuk menyicil
menghafal Al-Qur’an niscaya pasti mampu, seperti yang pernah disampaikan Ustadz
Yusuf Mansyur, satu hari satu ayat.
Saya
menceritakan betapa pentingnya hafalan Al-Qur’an. Sebab, jika hafalan kita
tidak banyak, akan merepotkan ketika suatu sa’at bertindak menjadi imam shalat,
baik di masjid, musholla maupun di rumah sa’at mengimami istri dan anak-anak.
Ada
satu kisah yang patut menjadi pelajaran bagi kita. Suatu hari di sebuah
kompleks perumahan diadakan shalat Idul Adha. Kebetulan, ustadz yang seharusnya
menjadi imam dan khotib Idul Adha berhalangan hadir karena sakit mendadak.
Padahal sa’at itu pelaksanaan shalat hampir dimulai. Pengurus masjid pubn
panic. Di tengah keputus asaannya, salah
seorang pengurus masjid melihat ada anak muda dengan penampilan ustadz duduk
persis di depan mimbar. Dia berada di shaf pertama. Maka spontan pengurus
masjid meminta kesediaan anak muda tersebut untuk maju ke depan sebagai imam
sekaligus khotib.
Ditunjuk
secara mendadak, awalnya muda tersebut menolak. Namun karena didesak terus oleh
pengurus, bahkan pengurus setengah memaksa agar anak muda itu berkenan menjadi
imam, akhirnya dengan sangat terpaksa ia maju ke depan dan langsung menjadi
imam.
Sholat
pun di mulai. Raka’at pertama lancar tidak ada hambatan. Namun pada raka’at
kedua, setelah membaca surat Al-Fatihah sang imam bingung ingin membaca surat
apa. Mungkin modal hafalannya pas-pasan. Kemudian, dia teringat surat yang
paling pendek dan sangat relevan dengan momentum Hari Raya Idul Adha, yaitu
surat Al-Kautsar. Dia pun memuali membaca surat itu. Bismillahirahmanirrahim.
Inna a;thoinaakal kautsar. Fashollilirobibika wanhar. Inna……………
Sampai
disitu ia berhenti dan berusaha mengingat-ingat karena rupanya sang imam lupa
ayat terakhir dari surat yang hanya terdiri dari tiga ayat tersebut. Kemudian
dibaca lagi. Begitu sampai di ayat ketiga. Imam terus mengulang-ulang kata
‘inna’ meski sejumlah makmum di belakangnya sudah meneruskan ayat terakhir.
Mungkin karena terlalu panik ia tidak mendengar apa yang dikatakan makmum.
Akhirnya ada makmum yang tidak sabar yang kemudian berteriak: “inna lillahi wa
inna ilaihi rojiun………”
Mendengar
cerita tersebut jama’ah tarawih terlihat cukup terhibur. Malah ada yang tidak
bisa menyembunyikan tawanya. Maka saya lanjutkan cerita lain yang mengarah ke
‘pembelaan’ atas insiden lupa saat tarawih tadi.
Saya
katakana, bukan hanya imam yang baru menghafal sedikit ayat saja yang bisa
lupa. Terkadang imam yang sudah fasih dan hafalannya banyak juga tak luput dari
sifat lupa. Hal ini lumrah karena itu adalah sifat manusia. Yang terpenting
adalah bagaimana melatih diri agar tidak lupa dalam hal yang berkaitan dengan
ibadah.
Demikianlah,
upaya ‘melawan lupa’ berhasil saya lakukan di depan jama’ah malam itu. Tausiyah
tersebut selain ditujukan kepada jama’ah, juga sebagai pengingat diri saya agar
tidak terulang lagi insiden lupa raka’at sa’at menjadi imam shalat, atau lupa
ayat dari surat yang dibacakan saat shalat berjama’ah.
Idul
Firi Citarasa Nusantara
Idul
Fitri 1434 H di Malaysia diadakan pada 8 Agustus 2013. Saya merayakannya di
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. Namun, karena saya
dating sudah di pertengahan Bulan Ramadhan, pihak KBRI sudah meyusun agenda
pelaksanaan shalat idul Fitri sekaligus imam dan khotibnya. Maka, saya hanya
menjadi makmum bersama masyarakat Indonesia lainnya di Malaysia.
Di KBRI saya bisa merasakan atmosfer hari raya seperti di Indonesia lengkap
dengan makanan khas seperti ketupat dan opor ayam. Sebetulnya, suasana Idul
Fitri di Malaysia secara keseluruhan mirip dengan di Indonesia. Setelah shalat Id,
masyarakat bersilaturahmi tetangga
dan keluarganya.
Hanya saja,
saya merasakan suasana Idul Fitri di Indonesia lebih meriah dibandingkan di
Malaysia. Bahkan sa’at malam takbir, saya tidak mendengar kumandang takbir di
masjid-masjid seperti yang selalu ramai dikumandangkan di Tanah Air.
Setelah Idul Fitri, tugas saya
sebagai Dai Ambassador hampir selesai. Secara umum saya merasa cukup puas
dengan agenda dakwah yang saya lakukan. Bukan hanya saja mengisi
tausiyah-tausiyah tapi juga dalam mengenalkan program Dompet Dhuafa di hadapan
masyarakat Indonesia di Malaysia.
Saya berharap ke depan dapat dibuka
perwakilan Dompet Dhuafa di Malaysia mengingat banyaknya muslim Indonesia yang
sangat memerlukan dai untuk membantu mereka memperdalam agama.
Di masjid-masjid di Malaysia memang
banyak juga digelar pengajian-pengajian oleh masyarakat setempat. Namun,
majelis taklim yang mereka lakukan terkesan eksklusif sehingga pekerja
Indonesia merasa sungkan untuk bergabung. Meski seiman, terasa ada jarak antara
majikan dan TKI di Malaysia.
Upaya Dompet Dhuafa nantinya akan
lebih mudah dengan adanya peran IPMI dalam merangkul para pekerja muslim di
Malaysia. IPMI dapat dijadikan mitra Dompet Dhuafa untuk mengembangkan dakwah
kepada para pekerja Indonesia di ‘Negeri Jiran’.
0 komentar:
Posting Komentar