Rabu, 28 Januari 2015

Dakwah di Malaysia

Dakwah di Malaysia
                
Negeri Sejuta Indonesia
Gus Isqowi ( Isqowi Indaddin Masya )

    Pertengahan MEI 2013, Koordinator Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) Ustadz Ahmad Fauzi Qosim MA menginformasikan bahwa Cordofa akan mengirim dai-dainya ke berbagai negara pada Bulan Ramadhan 1434 H melalui Program Dai Ambassador. Untuk melengkapi personilnya, diadakanlah rekruitmen yang diikuti oleh puluhan dai dari berbagai daerah.
    Sebanyak 88 dai mengikuti proses seleksi. Ada yang sebelumnya sudah tergabung dalam Cordofa, banyak juga dai baru yang melamar setelah  melihat pengumuman berupa pamflet yang disebar Dompet Dhuafa. Kebetulan saya sudah bergabung dalam program Cordofa sebelumnya. Setelah melalui proses seleksi, ditetapkan 20 dai masuk dalam program. Kami pun mengikuti pembekalan sejak 17 Juni hinhgga 2 Juli.
    Setelah pelatihan berakhir, diputuskan 10 dai akan diberangkatkan ke berbagai negara, sisanya akan disebar ke sejumlah daerah di Indonesia. Kesepuluh dai yang diutus ke luar negeri antara lain, Ustadz Muhammad Toif Chasani menuju Korea Selatan, Ustadz Drs Bahrun Mubarok, MA (HongKong), Ust. Isnaini Adha, Lc (Republik Rakyat China), Ust. H. Al Ikhlas Syamsuir, MA (Philipina), KH Drs Amin Munawar, MA (Jepang) Ust. Nur Hidayat, S.Ag (Timor Leste), Ust Drs Budi Juliandi, MA (Australia), Ust Asep Awaludin, S.Pdi (Taiwan) dan saya sendiri dikirim ke Malaysia.

            
Meski letak geografisnya sangat berdekatan dan secara kultur maupun bahasa masih serumpun dengan Indonesia, Malaysia tetaplah negeri yang asing karena  belum sekalipun saya pernah menginjakkan kaki ke ‘Negeri Jiran’. Apalagi, Malaysia adalah salah satu dari dua negara tujuan Cordofa yang memiliki tantangan yang berat. Sebab, di negara tersebut belum ada perwakilan Dompet Dhuafa sehingga tidak mudah untuk mendapatkan akses ke jamaah sasaran. Saya akan dalam posisi buta sama sekali dalam berdakwah karena tidak kenal siapa-siapa. Satu negara lainnya yang memiliki karakteristik sama adalah ‘Timor Leste’.
    Selain mencari sendiri akses dakwah, tantangan lainnya adalah, saya diminta membuka akses untuk Dompet Dhuafa di Malaysia. Istri tercinta semapt khawatir begitu mendengar kondisi yang akan saya hadapi dan sempat menyangsikan kemampuan saya menghadapi tantangan tersebut. Karenanya, hamper-hampir saya dilarang berangkat untuk melanjutkan misi berdakwah ke Malaysia yang diamanatkan Cordofa.
     Akan tetapi saya tidak merasa khawatir sama sekali. Mungkin karena negara yang saya datangi memiliki karakteristik yang sama dengan Indonesia sehingga saya tidak akan kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Selain itu, lokasinya juga tidak terlalu jauh dari Indonesia dan seperti di Tanah Air, mayoritas penduduknya adalah muslim sehingga saya yakin akan merasa nyaman dalam beribadah. Mengenai akses yang belum terbayang sama sekali, saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Saya yakin dalam setiap upaya di jalan Allah, Dia pasti akan memberi kemudahan.
    Melihat kepercayaan diri saya yang membumbung tinggi itu, istri tercinta tidak bisa berbuat apa-apa. Sambil menahan sedih, ia hanya bisa melepas sya ketika saatnya berangkat ke Malaysia pada Kamis, 11 Juli 2013. Pukul 20.15 WIB, pesawat Lion Air yang saya tumpangi lepas landas dari Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Dan tak lama, hanya selang dua jam kemudian, saya sudah menjejakkan kaki di Bandar Udara Kuala Lumpur, Malaysia.
            Masih dengan kepercayaan diri yang tinggi, saya lewati pintu imigrasi tanpa ada hambatan sedikitpun. Petugas imigrasi dan orang-orang di Bandara tidak ada yang memandang aneh dengan pakaian khas muslim Asia Tenggara yang saya kenakan. Saya yakin mereka juga muslim dan sudah terbiasa melihat atribut-atribut seperti peci dan baju koko yang melekat di tubuh saya ini.
    Mungkin kondisinya akan sangat berbeda jika saya dikirim ke negara yang mayoritas penduduknya non muslim dan bahasa yang digunakan tidak saya mengerti. Korea Selatan atau Jepang, misalnya. Dalam hati saya pun bersyukur tugas yang saya terima adalah ke Malaysia sehingga dalam hal bahasa dan kenyamanan saya rasakan sangat baik.
    Selesai mengurus imigrasi, saya pun melenggang masuk Malaysia hampir tengah malam. Saat itu sudah pukul 11.15 waktu Malaysia. Lalu saya pun mul;ai mencari-cari orang yang menjemput saya. Dalam print out surat elektronik dari Ustadz Fauzi Qosim selaku coordinator Dai Cordofa tertulis, yang akan menjemput saya di Malaysia adalah Bapak Rahmat Widayanto. Beliau menjabat sebagai Presiden Direktur Mandiri Remittance Malaysia.
    Saya memang belum pernah bertemu dengan Pak Rahmat sehingga tidak mengenal wajahnya. Tapi, tidak ada tanda-tanda orang yang menunggu bertemu saya di sekeliling wilayah bandara tempat saya berdiri. Di sini, kepercayaan diri saya yang tinggi tadi mulai luntur. Saya pun mulai mondar-mandir dengan gelisah sambil berharap-harap Pak Rahmat ada di sekitar dan menangkap kekhawatiran saya.
    Ketika saya coba hubungi, telepon genggam saya tidak bisa menjangkau nomor teleponnya. Karena saya masih menggunakan kartu telepon dari oerator Indonesia, dan saya lupa untuk mengaktifkan international roaming, jadi tak bisa dipakai. Saat itu saya seperti kehabisan akal sehingga tidak terpikirkan untuk menggantinya dengan kartu telepon lokal. Akibatnya, hingga lewat tengah malam, atau Jum’at 12 Juli 2013 diniu hari, saya masih sendirian terasing di bandara.
     Barulah ketika waktu sudah menunjukkan hampir pukul 03.00 pagi, ide menukar kartu telepon muncul di kepala dan tak lama saya sudah berhasil menghubungi beliau. Namun, sayangnya beliau sudah dalam perjalanan kembali ke rumah. Setelah dijelaskan, ternyata Pak Rahmat sebelumnya sempat menunggu saya cukup lama di bandara. Namun, posisinya berjauhan dari tempat saya menunggunya.
     Syukur Alhamdulillah, ia bersedia kembali ke bandara meski harus menyewa taksi. Betapa leganya ketika melihat wajah damai Pak Rahmat yang tetap tersenyum saat menjumopai saya, meski saya tahu ia sangat lelah menunggu saya semalaman di bandara. Kami pun beranjak dan tiba di kediamannya di Sri Maya Condominium, Jelatek, Kuala Lumpur pada pukul 04.00 pagi. Istri beliau langsung menyiapkan makan sahur begitu kami tiba. Pak Rahmat dan istrinya mengijinkan saya tinggal di rumah mereka selama menjalankan kegiatan dakwah di Malaysia.

Serupa Tapi Tak Sama
     Setelah mendapat istirahat yang cukup, saya memulai kegiatan di hari pertama saya di Malaysia, yaitu shalat Jum’at. Begitu keluar  rumah, saya bisa merasakan suasana Kuala Lumpur yang sesungguhnya. Sebab, ketika baru, perjalanan dari bandara ke  rumah Pak Rahmat saya lalui dalam kegelapan malam, sehingga tidak terlalu jelas melihat pemandangan. Dari suhu udara yang saya rasakan dan suasana kota yang saya lihat, hampir tidak ada perbedaan dengan Jakarta.
    Atmosfer menjelang shalat Jum’at juga senada dengan suasana di Indonesia. Masjid-masjid mengumandangkan Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an, sementara penduduk mulai berbondong-bondong menuju masjid mengenakan pakaian muslim lengkap dengan peci. Beberapa membawah sajadah. Tujuan saya kali ini untuk menunaikan shalat Jum’at adalah Masjid Muadz bin Jabbal.
    Begitu masuk ke dalam bangunan masjid berkonsep semi modern namun tidak meninggalkan kekhasan melayunya, barulah saya melihat sejumlah perbedaan. Ketika berjalan di lantai dua masjid usai berwudhu, kedua mata saya tanpa sengaja mengarah pada suatu ruangan dengan sebuah tulisan besar di kaca jendelanya. Tulisan tersebut berbunyi: “Ruang Persalinan Lak-Laki”. Sejenak saya terdiam. Dalam pikiran saya saatr itu, saya mengasosiakan kata persalinan sebagai proses melahirkan yang dialami kaum wanita. Lalu mengapa ada kata laki-laki di sana? “Apakah laki-laki Malaysia juga melahirkan?” candaku.
    Setelah mencari informasi, baru saya mengerti, maksud tulisan tersebut adalah kamar yang dimaksud digunakan untuk ruang ganti pakaian laiki-laki. Perbedaan lain juga saya rasakan saat mengikuti shalat Jum’at berjema’ah. Saat khotib membacakan do’a pada khutbah kedua, ada sesuatu yang tidak lazim di telinga. Baru kali ini saya mendengar khotib shalat Jum’at membaca do’a yang ditujukan bukan hanya kepada kaum muslimin, tetapi juga khusus untuk raja dan permaisurinya.
    Meski pemerintahannya menganut sistem parlementer yang dipimpin oleh perdana menteri, secara cultural Malaysia adalah kerajaan dan masih memiliki raja atau yang disebut juga Yang Dipertuan Agong dan permaisuri. Yang Dipertuan Agong dipiliuh dari dan oleh Sembilan Sultan Negeri-Negeri Malaya, untuk menjabat selama lima tahun secara bergiliran.
    Do’a untuk penguasa negara dalam khutbah kedua shalat Jum’at memang tidak lazim dilakukan di Indonesia. Tapi berdasarkan informasi yang saya terima usai shalat Jum’at, hal itu wajib dilakukan setiap khotib di Malaysia. Bahkan, saya pun baru tahu, untuk menjadi khotib di Malaysia harus memiliki surat ijin serta wajib membaca teks yang sudah dipersiapkan oleh Jawatan Keagamaan Malaysia atau Kementrian Agama negara tersebut.
   
Tapi bukan tujuan saya menganalisa perbedaan praktik peribadatan di Malaysia dengan negara-negara lain. Misi saya ke ‘Negeri Jihan’ ini adalah berdakwah kepada masyarakat muslim Indonesia di Malaysia yang jumlahnya mencapai lebih dari satu juta jiwa. Seorang diri, niscaya saya tidak akan mampu menjangkau strategi bagaimana kegiatan dakwah yang hanya satu buloan di Malaysia berjalan secara efektif.      Masalahnya, saya sendiri belum tahu akan ke mana saya berdakwah karena tidak ada jaringan sama sekali dan jadwal pun belum tersusun. Saya khawatir hari-hari saya di Kuala Lumpur terbuang percuma dan pulang membawa kegagalan. Awalnya, saya berharap Pak Rahmat bisa membantu saya menjangkau masyarakat yang membutuhkan dai. Namun, ternyata beliau juga baru empat bulan ditugaskan di Malaysia setelah sebelumnya menetap lama di Hong Kong. Beliau mengaku belum banyak memiliki jaringan di Malaysia, kecuali komunitas-komunitas yang berkaitan dengan pekerjaannya, sehingga tidak bisa banyak membantu.
    Saya sempat bingung, tapi bagaimanapun tugas dakwah harus tetap berjalan. Maka, dari secuil informasi yang dimiliki Pak Rahmat mengenai komunitas pengajian, kami kembangkan bersama dengan turun langsung ke sejumlah individu yang menjadi anggotanya. Saya pernah mendengar, orang bilang, Malaysia itu sejuta Indonesia, karena kita akan mudah menemukan orang Indonesia di mana-mana. Benar saja, ketika kami mengunjungi pusat perbelanjaan terpopuler di Kuala Lumpur, Suria Kuala Lumpur City Center (KLCC), kami bertemu dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai petugas kebersihan (cleaning service).
     Lebih dari itu, sore harinya, kebetulan ada acara buka bersama dengan para pekerja Indonesia yang bekerja di Petronas dan tergabung dalam Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI). Kebetulan Pak Rahmat memang diundang di acara tersebut dan diminta mengenalkan diri sebagai ‘warga baru’. Selain itiu, Dompet Dhuafa yang diwakili oleh saya juga diberi kesempatan mempresentasikan diri.
        Setelah acara selesai, banyak jama’ah yang datang dan meminta untuk mengisi pengajian di komunitas mereka yang lain. Tanpa sepengetahuan saya, Pak Rahmat juga melakukan lobi ke sejumlah rekanannya agar mereka mengundang saya di acara komunitas pengajian amsing-masing. Alhamdulillah, sejak itu kunjungan saya ke Malaysia menjadi berarti karena hampir setiap hari saya memiliki agenda dakwah yang dapat dijalankan.
       Yang pertama kali saya datangi adalah komunitas binaan Ibu Ning, istri salah satu pekerja Petronas. Komunitas tersebut berisi anak-anak yatim dan janda-janda yang berasal dari Indonesia maupun Malaysia. Berikutnya, ada agenda pengajian untuk petugas cleaning service di Kompleks Condominium Sri Maya, pengajian di sebuah bazaar yang diadakan oleh ibu-ibu Dharmawanita Indonesia atau istri-istri pegawai Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia dan pengajian-pengajian lain di berbagai komunitas TKI maupun mahasiswa.
     Dakwah yang saya lakukan berupa ceramah umum, tabligh akbar, majelis taklim dan konseling di penampungan atau shelter TKI yang bermasalah di KBRI. Di majelis-majelis, kebanyakan dakwah diadakan menjelang buka puasa, setelah buka puasa, di sela-sela tarawih dan usai shalat subuh.

Seperti era Soeharo
        Meski iklim dan suasananya mirip Indonesia, saya merasakasn sesuatu yang berbeda di Kuala Lumpur. Ibukota Malaysia ini terasa lebih nyaman dan tenang dibandingkan Jakarta. Tidak ada kemacetan dan angkutan umum pun sangat nyaman, seperti bus dan monorail. Perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dapat saya lakukan dengan cepat.
    Tidak ada juga demontrasi  di jalan seperti yang lumrah dilakukan para demontran di Jakarta. Mungkin karena pemerintah Malaysia yang msih berpaham monarki meski juga menganut sistem parlementer.
     Untuk menjalankan agama, Malaysia cukup nyaman, karena terlihat lebih Islami disbanding Indonesia. Selain mayoritas penduduknya muslim, hal itu juga bisa dilihat dari publikasi media yang dijual di lapak-lapak penjual Koran. Tidak ada majalah dengan sampul bergambar tak senonoh. Demikian juga tayangan televisi yang tidak pernah menampilkan acara-acara hiburan dengan pakaian yang vulgar.
   Sekilas, saya merasa berada di Indonesia pada era pemerintahan Presiden Soeharto di mana segala hal yang berkaitan dengan publikasi, pemerinthan dan politik dikendalikan oleh negara shingga tidak ada kebebasan. Namun, imbasnya, suasana menjadi lebih tenang tanpa gejolak.  Dari sejumlah masyarakat asli Malaysia yang saya tanyai, mengaku mengaku sangat bangga menjadi seorang muslim dan juga bangga dengan pemerintah Malaysia.
   Pemerintah Malaysia juga sangat protektif terhadap paham-paham yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Sementara, taklim-taklim tumbuh subur di masjid-masjid. Yang paling menyenangkan adalah, saya tidak pernah merasa kesulitan dalam mendapatkan makanan halal dan sesuai dengan selera.
                                    
Jurang Pemisah Antar-TKI
      Dari kegaitan dakwah yang saya lakukan di berbagai komunitas, dapat terlihat jurang pemisah antara TKI kelas atas dan TKI kelas bawah. TKI kelas atas, umumnya bekerja di sektor industri swasta pada modal atau lembaga perusahaan milik pemerintah Malaysia. Gaji mereka rata-rata 20 ribu ringgit Malaysia atau setara dengan Rp. 60 juta per bulan.
     Sedangkan TKI pada tingkat bawah umumnya bekerja di sector padat karya atau operator pabrik, pembantu rumah tangga, pelayan restoran dan lainnya dengan penghasilan pas-pasan. Untuk menyatukan TKI tingkat atas yang rata-rata bergelar doctor dan master dengan TKI pada tingkat bawah yang hanya memiliki latar belakang pendidikan SMP (Sekolah             Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) merupakan permasalahan yang sangat sulit.


     Belum terlihat upaya nyata dari pekerja kelas atas merangkul  komunitas pekerja kelas bawah untuk mengurangi beban hidup mereka. Makin besarnya jurang pemisah ini, menyebabkan tingginya  per-   masalahan social di kalangan TKI kelas bawah, dimana pekerja yang berpendidikan rendah akan semakin terpuruk dengan keadaan ekonomi atau kebuuhan hidup yang tinggi.
     Selain harus menjalani hari-hari dengan kerja keras, citra pekerja Indonesia di Malaysia tidak terlalu baik. Warga pribumi seringkali memandang sebelah mata para TKI wanita sebagai perempuan murahan. Semenetara, pekerja lelaki seringkali diasosiasikan dengan perilaku criminal.

Belum lagi, para TKI yang bermasalah sehingga terpaksa harus tinggal di shel ter untuk sementara sampai menunggu kasusnya selesai. Banyak yang berun -tung bisa kembali ke Indonesia, namun ada jugak TKI yang bernasib mendapat perlakuan kejam dari majikan, atau dihu kum mati karena terpaksa melakukan pembunuhan. 

Selama di Malaysia, saya sering tersentuh dan tidak bisa menahan air mata saat mengisi pengajian dan konseling kepada ibu-ibu TKI yang berada di shelter. Perso alan TKI memang selalu menjadi pemberitaan yang menarik. Dari mulai kasus pele cehana  TKI, nasib TKI yang terlunta-lunta sampai pada pemerasan TKI di negeri sendiri yang selalu menjadi sapi perahan oknum Bandara Soekarno-Hatta. Belum lagi nakalnya PJTKI dengan kasus penipuan dan pengiriman yang tidak sesuai akad. Anehnya meski fenomena persoalan buruh migrant selalu menjadi sorotan, namun gelombang pengiriman TKI selalu meningkat persentasenya.


Tapi, syukur Alhamdulillah dari jutaan TKI yang ada di Malaysia, masih ada pekerja Indonesia yang peduli akan pentingnya pembinaan keagamaan sebagai bagian dari kehidupannya. Komunitas pekerja Indonesia yang haus akan ilmu agama ini menamakan dirinya Ikatan Pekerja Muslim Indonesia 

(IPMI). Dengan serius mereka mengadakan pembinaan melalui kajian secara rutin dan berkala. Organisasi sosial kemasyarakatan ini dibentuk atas keprihatinan akan gejala sosial negatif yang sering kali muncul di kalangan TKI. Meski terkadang para pekerja selalu akan melihat independensi organisasi tersebut untuk berperan dan  bernaung di bawahnya, perhatian dan pekanya sebuah organisasi sosial di luar negeri ini sangat diperlukan untuk mengatasi problema yang ada di sekitar TKI. Sebab, TKI merupakan salah satu ataupun bagian kecil dari aset negara yang perlu diperhatikan.
   IPMI mengumpulkan dan mengajak para pekerja untuk kegiatan rihlah (bertamasya sambil berdakwah) serta diiringi tausyiah. Saya sangat terkesan dengan pengurus maupun anggota IPMI yang rela meluangkan waktu, tenaga maupun mengeluarkan materinya demi berjalannya kegiatan di organisasi tersebut meski tak jarang menghadapi kendala.
      Beberapa organisasi sosial dari negara kita yang ada di Malaysia cukup kesulitan dalam melakukan pemberdayaan TKI. Hal ini terjadi akibat keterbatasan dana yang terkumpul, kesediaan waktu yang sangat sedikit atau sumber daya TKI yang ada masih rendah, sehingga segala bentuk kegiatan hanya bersifat sumbangan yang didapat dari TKI itu sendiri. Meski demikian, IPMI Malaysia yang dipimpin H. Irfan Efendy pantang menyerah memperkaya kegiatan mereka agar silaturahmi antar pekerja Indonesia tetap terjalin.
      Komunitas yang dimiliki potensi untuk dibina secara berkelanjutan oleh Dompet Dhuafa. Hal ini yang saya lihat saat mengisi renungan malam dan tausiyah subuh. Sangat jelas tergambar bagaimana antusiasme para TKI yang hadir dalam acara yang digelar IPMI dalam menimba ilmu agama.
      Mereka terlihat sangat haus akan siraman rohani, namun ketersediaan dai Indonesia yang mampu membakar semangat mereka sangat sedikit. Maka, mereka sangat senang ketika saya berkesempatan memberikan tausiyah di malam bulan Ramadhan dan usai shalat subuh. Tanggapan mereka saya terhadap dakwah yang saya lakukan sungguh luar biasa dan itu tergambar dari status-status di time line laman Facebook Sahabat IPMI. Rupanya, selain pertemuan tatap muka, nereka juga tetap menjalin silahruahmi melalui situs jejaring social.

Melawan Lupa
            Manusia tak lepas dari sifat lupa. Tapi, jika sifat itu muncul saat memimpin shalat puluhan jama’ah, sungguh membuat saya malu bukan kepalang. Hal itu terjadi ketika saya menjadi imam shalat tarawih di sebuah komunitas muslim Indonesia di Kuala Lumpur. Di raka’at terakhir tarawih seharusnya saya duduk tahiyat akhir. Namun, usai sujud saya justru hendak berdiri sehingga makmum yang menyadari kesalahan saya spontan berteriak “Subhanallah”.
        Sadar hampir keliru, saya pun langsung menyelesaikan shalat tarawih hingga salam. Tetapi malu terlanjur bertamu. Maka, seusai shalat saya pun memutar otak bagaimana caranya menutupi rasa malu akibat lupa raka’at pada shala tarawih tadi. Lalu lahir sebuah ide di dalam kepala, dalam materi tausiyah nanti saya ceritakan tentang imam yang lupa bacaan shalat.
     Selepas witir, tausiyah pun saya mulai. Saya membahas, di antara keistimewaan Al-Qur’an adalah sangat mudah untuk dihafal. Maka, jika meluangkan waktu untuk menyicil menghafal Al-Qur’an niscaya pasti mampu, seperti yang pernah disampaikan Ustadz Yusuf Mansyur, satu hari satu ayat.
         Saya menceritakan betapa pentingnya hafalan Al-Qur’an. Sebab, jika hafalan kita tidak banyak, akan merepotkan ketika suatu sa’at bertindak menjadi imam shalat, baik di masjid, musholla maupun di rumah sa’at mengimami istri dan anak-anak.
       Ada satu kisah yang patut menjadi pelajaran bagi kita. Suatu hari di sebuah kompleks perumahan diadakan shalat Idul Adha. Kebetulan, ustadz yang seharusnya menjadi imam dan khotib Idul Adha berhalangan hadir karena sakit mendadak. Padahal sa’at itu pelaksanaan shalat hampir dimulai. Pengurus masjid pubn panic. Di tengah  keputus asaannya, salah seorang pengurus masjid melihat ada anak muda dengan penampilan ustadz duduk persis di depan mimbar. Dia berada di shaf pertama. Maka spontan pengurus masjid meminta kesediaan anak muda tersebut untuk maju ke depan sebagai imam sekaligus khotib.
      Ditunjuk secara mendadak, awalnya muda tersebut menolak. Namun karena didesak terus oleh pengurus, bahkan pengurus setengah memaksa agar anak muda itu berkenan menjadi imam, akhirnya dengan sangat terpaksa ia maju ke depan dan langsung menjadi imam.
       Sholat pun di mulai. Raka’at pertama lancar tidak ada hambatan. Namun pada raka’at kedua, setelah membaca surat Al-Fatihah sang imam bingung ingin membaca surat apa. Mungkin modal hafalannya pas-pasan. Kemudian, dia teringat surat yang paling pendek dan sangat relevan dengan momentum Hari Raya Idul Adha, yaitu surat Al-Kautsar. Dia pun memuali membaca surat itu. Bismillahirahmanirrahim. Inna a;thoinaakal kautsar. Fashollilirobibika wanhar. Inna……………
          Sampai disitu ia berhenti dan berusaha mengingat-ingat karena rupanya sang imam lupa ayat terakhir dari surat yang hanya terdiri dari tiga ayat tersebut. Kemudian dibaca lagi. Begitu sampai di ayat ketiga. Imam terus mengulang-ulang kata ‘inna’ meski sejumlah makmum di belakangnya sudah meneruskan ayat terakhir. Mungkin karena terlalu panik ia tidak mendengar apa yang dikatakan makmum. Akhirnya ada makmum yang tidak sabar yang kemudian berteriak: “inna lillahi wa inna ilaihi rojiun………”
        Mendengar cerita tersebut jama’ah tarawih terlihat cukup terhibur. Malah ada yang tidak bisa menyembunyikan tawanya. Maka saya lanjutkan cerita lain yang mengarah ke ‘pembelaan’ atas insiden lupa saat tarawih tadi.
        Saya katakana, bukan hanya imam yang baru menghafal sedikit ayat saja yang bisa lupa. Terkadang imam yang sudah fasih dan hafalannya banyak juga tak luput dari sifat lupa. Hal ini lumrah karena itu adalah sifat manusia. Yang terpenting adalah bagaimana melatih diri agar tidak lupa dalam hal yang berkaitan dengan ibadah.
      Demikianlah, upaya ‘melawan lupa’ berhasil saya lakukan di depan jama’ah malam itu. Tausiyah tersebut selain ditujukan kepada jama’ah, juga sebagai pengingat diri saya agar tidak terulang lagi insiden lupa raka’at sa’at menjadi imam shalat, atau lupa ayat dari surat yang dibacakan saat shalat berjama’ah.

Idul Firi Citarasa Nusantara
     Idul Fitri 1434 H di Malaysia diadakan pada 8 Agustus 2013. Saya merayakannya di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. Namun, karena saya dating sudah di pertengahan Bulan Ramadhan, pihak KBRI sudah meyusun agenda pelaksanaan shalat idul Fitri sekaligus imam dan khotibnya. Maka, saya hanya menjadi makmum bersama masyarakat Indonesia lainnya di Malaysia.
       Di KBRI saya    bisa merasakan atmosfer hari raya seperti di Indonesia lengkap dengan makanan khas seperti ketupat dan opor ayam. Sebetulnya, suasana Idul Fitri di Malaysia secara keseluruhan mirip dengan di Indonesia. Setelah  shalat Id,  masyarakat  bersilaturahmi   tetangga   dan  keluarganya.
Hanya saja, saya merasakan suasana Idul Fitri di Indonesia lebih meriah dibandingkan di Malaysia. Bahkan sa’at malam takbir, saya tidak mendengar kumandang takbir di masjid-masjid seperti yang selalu ramai dikumandangkan di Tanah Air.
         Setelah Idul Fitri, tugas saya sebagai Dai Ambassador hampir selesai. Secara umum saya merasa cukup puas dengan agenda dakwah yang saya lakukan. Bukan hanya saja mengisi tausiyah-tausiyah tapi juga dalam mengenalkan program Dompet Dhuafa di hadapan masyarakat Indonesia di Malaysia.
       Saya berharap ke depan dapat dibuka perwakilan Dompet Dhuafa di Malaysia mengingat banyaknya muslim Indonesia yang sangat memerlukan dai untuk membantu mereka memperdalam agama.
      Di masjid-masjid di Malaysia memang banyak juga digelar pengajian-pengajian oleh masyarakat setempat. Namun, majelis taklim yang mereka lakukan terkesan eksklusif sehingga pekerja Indonesia merasa sungkan untuk bergabung. Meski seiman, terasa ada jarak antara majikan dan TKI di Malaysia.
      Upaya Dompet Dhuafa nantinya akan lebih mudah dengan adanya peran IPMI dalam merangkul para pekerja muslim di Malaysia. IPMI dapat dijadikan mitra Dompet Dhuafa untuk mengembangkan dakwah kepada para pekerja Indonesia di ‘Negeri Jiran’.


0 komentar:

Posting Komentar